#CatatanPerjalanan #Modus

Sebelumnya, maaf, jika lantaran tulisan ini ada pihak yang merasa dirugikan, disalahkan, dihina, dan seterusnya. Karena dengan sejujurnya, niat saya bukanlah demikian. Jadi mari kita mulai saja.
Terlepas dari status saya sebagai lulusan S1 Psikologi, mungkin cukup mudah mengetahui kepribadian seseorang hanya lewat beberapa kali pertemuan, bahkan bagi orang awam sekalipun atau sarjana dari bidang akademik berbeda. Maka mudah rasanya menilai secara personil bahwa seseorang ini bukan merupakan salah satu dari yang kebanyakan pria incar. Oke, kita tak perlu berkenalan dengannya.
Bagaimana tidak, kesan pertama (sebenarnya kedua, sih) yang akan begitu kuat diingatan, seakan ia sia-siakan begitu saja. Bukannya mengajak untuk berperilaku pragmatis, menjaga dan menunjukkan kesan positif di pertemuan awal adalah hal penting dalam hidup ini, begitu kata dosen-dosen psikologi saya. Akan tetapi, mudahnya, bagaimana mungkin kita menemukan relasi yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan dengan mudah dan lancar, bila salam pembuka kita saja nihil nilainya?
Saya jadi teringat dengan tulisan pak Edi, pimpinan Diva Press, bahwa ia selalu mengutarakan pendapatnya bahwa ia sangat benci dengan pendahulusan sebuah tulisan yang tidak enak dibaca (dalam hal ini ada dua hal, silahkan cari sendiri).
Kembali ke laptop! Mari bayangkan, bagaimana mengecewakannya, seorang anak kecil, tebakan saya 17-19 tahunan sih, memberikan reaksi spontannya dengan kata-kata yang kurang enak didengar, “Mulutmu!” tentu dengan penekanan yang orang akan memahaminya sebagai makian atau cercaan.
Ironis, bukan? Tapi nasi kadung menjadi bubur. Di pertemuan pertama, sebenarnya, saya sangat tertarik dengan anak ini, (widiih, kayak orang tua aja). Di pertemuan pertama kami tak banyak interaksi, karena tengah ikut serta dalam sebuah pelatihan. Kami hanya bertukar kontak, informasi pribadi yang penting-penting saja, kuliah di mana, smester berapa, asalnya dari mana, tinggal dimana, dan pertanyaan-pertanyaan lumrah lainnya untuk perkenalan semata.
Dari pertemuan pertama itu, kesan yang ditampilkan menunjukkan bahwa ia anak yang suka jalan-jalan, ya semacam petualangan gitu lah, berani dengan tantangan, tertarik dengan dunia tulis menulis, dan kebetulan ia sedang kuliah di jurusan yang tidak pernah saya kuasai dengan baik sewaktu SMP-SMA: berbau fisika, kimia, atau apalah yang berdekatan dengan matematika lanjutan.
“Ah, anak ini menarik juga, mungkin di pertemuan-pertemuan selanjutnya, ia bisa menghilangkan kebodohan saya soal bidang-bidang akademik di atas.” Batin saya di pertemuan pertama itu.
Selepas itu, nyaris kami tidak saling kontak, mungkin ini akan menjadi maklum bagi pembaca yang sudah pernah merasakan menderitanya mengerjakan skripsi, terutama mereka yang tidak fasih dengan hitungan-hitungan tapi memberanikan diri mengambil metodologi kuantitatif. Alhasil, satu ketika kami sepakat untuk saling bertemu, di suatu waktu, di suatu tempat yang menurut saya, bagai kami adalah tempat yang sama-sama kami cintai. Yah, di situlah pokoknya.
Di pertemuan kedua inilah, kekecewaan saya terjadi. Sekali lagi, mari kita bayangkan, anak kecil, pertemuan kedua setelah pertemuan pertama yang basa-basi, dan kata-kata yang tidak enak didengar. Oya, satu lagi, jangan bayangkan ia adalah anak laki-laki.
Sepulang dari pertemuan kedua inilah ketertarikan saya terhadap anak ini sedikit runtuh. Kalau boleh lebay, mimpi panjang yang saya bangun untuk dekat dengan bidang-bidang akademik di atas mulai sirna. Bahkan, peluang untuk menemukan jodoh dalam dirinya pun pudar, *yang ini juga serius.
Demikian, kesan yang dibangun sekali lagi membuktikan akan pentingnya, melebihi kepentingannya. Maka tidak heran jika pelamar-pelamar pekerjaan disarankan untuk memberikan kesan yang nyaman saat tahap wawancara. Ya, sebelas duabelas lah dengan tahap yang saya lalui di atas juga.
“Ah, mungkin karena ia masih kanak-kanak, Bed.”
Ih, apaan, 17-19 tahun bukan lagi masa kanak-kanak. Kata Psikologi, usia itu adalah masa panas-panasnya manusia dalam tahapan perkembangannya.
“Nah, apalagi kamu bilang gitu, panas. Ya, maklum lah.”
Tunggu dulu, justru di sinilah letaknya, sejauh mana mereka menahan panasnya.
“Lalu apa tujuannya menulis ini?”
Entahlah, saya hanya tidak bisa tidur malam ini mengingat kejadian tempo hari itu. Mudah-mudahan saya tidak salah sangka. Mudah-mudahan tidak lagi kita temukan kesan negatif di pertemuan ketiga dan seterusnya (jika ada takdir). Mudah-mudahan tidak ada yang dirugikan. Mudah-mudahan semuanya dalam lindungan Tuhan. Tusbihina ‘ala khoir.

1 comments: