Musik itu Selera dan Ekspresi
Ini apaan lagi? |
Salah seorang kawan saya
berceloteh, “Kalo udah ngedengarin lagu malaysiaan itu, rasanya, beuh! Mantep banget dah.”
“Ih, malaysiaan? Gila kamu ya,
jaman gini kamu masih suka gituan. Aku sih termasuk orang yang beruntung nggak
pernah demen sama musik malaysiaan.”
“Masalah?” lalu selesai dengan
tawa yang lepas.
Oke, sebelum kamu teruskan
membaca tulisan aneh ini, perkenalkan dulu, bahwa saya bukan orang yang paham
soal musik. Sejak kecil saya nggak pernah tahu tentang tangga-tangga nada.
Bahkan, bicara dengan datarpun suara saya fals! Ah, becanda kok. Oke, jadi,
pastikan dulu bahwa kamu adalah orang yang mengerti musik, ya paling nggak
tahulah dikit-dikit, biar kamu bisa ngasi masukan. Kalo kamu sama-sama oonnya
soal musik, buat apa saya nulis beginian? Ya, kan?
Bagi sebagian orang, atau gini,
bagi sebagian teman saya, musik malaysiaan memang nyaman di telinganya, tapi begitu
mengganggu di telinga tetangga. Musik-musik metal gitu, juga cuma sebagian dari
teman saya yang suka. Saya sendiri fans berat group band Paramore dan sedikit
Greenday. Sebagian yang lain suka lagu islami macam shalawatan, Shaka, nasyid,
dan jarang sekali ia ketahuan mendengarkan lagu pop apalagi undergrown.
Dangdut? Sudah jelas ada.
“Boyband? K-pop? Girlband? Group
Idol?”
Sebagian besar teman-teman saya
memang nggak pernah mau mengakui itu sebagai bentuk perkembangan dunia musik.
Bagi saya sih nggak bermutu. Ya, nggak termasuk lah. Yasudah, kita nggak bahas
yang ini, eh, saya nggak bahas yang ini. Maaf ya, penggemar.
Saban waktu, entah pagi, siang,
sore, mau malam sekalipun selalu ada yang muterin beberapa lagu yang seringnya
disesuaikan dengan siapa yang muterin. Kadang tetangga sebelahnya juga
ikut-ikutan muterin lagu kesukaannya hanya dengan tujuan untuk meredam suara
lagu sebelah terdengar di telinga. Mungkin merasa diajak saingan, teman saya
yang pertama juga bakal ninggiin suara dari speakernya. Ya, macem bus
kejar-kejaran berburu setoran itulah.
Ada fenomena lain. Fenomena?
Entah, pemilihan diksi ini bener apa nggak. Ada fenomena lainnya di sekitar
lingkungan saya. Ketika seorang temannya bertamu dan disuguhkan dengan lagu
favorit tuan rumah, namun justru lagu yang tidak nyaman didengar oleh tuan
tamu. Sebagai tamu, tentu saja harus menghormati tuan rumah, bukan? Pun
demikian sebaliknya, tuan rumah sudah menjadi kewajibannya untuk melayani tamu.
Sayangnya, keduanya kadang kala sama-sama diam tidak mengutarakan apa yang
sebaiknya, dalam hal ini lagu, didengarkan bersama. Tuan rumah tidak tahu (atau
bahkan tidak mau tahu) apa selera musiknya dan apa yang dihindarinya. Tuan tamu
mungkin juga enggan dan pakaewuh
(kata bahasa jawa yang ini bener nggak sih? #nanyaserius) untuk minta
diputarkan lagu lain yang lebih enak baginya.
Hingga suatu ketika teman saya
berujar laiknya seorang penceramah. Tapi kali ini ia patut didengarkan. “Aku
nggak pernah melarang siapapun untuk mendengarkan musik apapun. Bahkan untuk
nonton bluefilm pun aku nggak pernah mempermasalahkannya. Yang penting saling
menghargai satu sama lain aja. Satu tetangga sedang sholat, sakit, atau
belajar, ya sudah sebaiknya kita menghargainya, salah satunya yang dengan tidak
memutar musik keras-keras, biarpun itu lagu kesukaan dia. Kecuali kalau kita
semua memang tengah santai, kumpul-kumpul gitu. Itupun kalo kamu puterin lagu
inggris-inggris gitu, misal, ya aku nggak bakal paham. Nggak paham pun juga
bakal tak nikmati. Musik itu kan soal selera, apa yang kita sukai. Tapi juga
soal ekspresi, emosi yang perlu dikeluarkan, diekspresikan. Ya, gitulah.”
“Ah, yasudah, kita nyanyi
rame-rame aja. Bentar, aku ambil gitar dulu.”