Lupa atau Emang Nggak Hapal Pancasila?

Sumber: rmi-nu.or.id

Saya ada cerita lucu yang mungkin bikin ngakak setengah mati. Tapi bukan itu tujuan saya menceritakannya. Ada hal miris yang penting untuk kita resapi dan segera diatasi. Sudah barang tentu jika tokoh-tokoh dalam cerita ini nyata dan semoga sehat wal afiat hingga sekarang. Amin.
Pertama, mari bayangkan suasana ospek mahasiswa baru. Mungkin hanya beberapa orang yang kita kenal di sana. Kebanyakan lainnya pasti masih muka baru di ingatan. Maklum saja, Jogja kan kotanya pelajar dari berbagai penjuru, lebih tepatnya, daerah. Ya, gitu lah.
Sudah dibayangkan? Oke, sekarang perjelas bayangan tadi dengan suasana anak lulusan SMA yang baru lulus tahun ajaran sebelumnya, atau dua tiga tahun sebelumnyalah. Namanya juga anak baru lulus, perjelas bayangannya dengan kondisi psikis yang masih labil dan butuh bimbingan lebih. Siap?
Mari kita mulai ceritanya. Salah seorang panitia ospek membentak kami sore itu dengan suara yang amat tinggi dan muka tak mengenakkan. Ya lumrahnya gaya-gaya kakak angkatan di perguruan tinggi kalau lagi ngospek gitulah. Kalian semua pasti udah tahu, kan?
Secara random ia memanggil tiga orang di antara kami yang berjulah hampir 300 orang. Ketiga-tiganya juga tak saya kenal sama sekali waktu itu. Dua orang di antaranya hanya ditanya beberapa hal biasa saja.
Yang bikin ngakak adalah orang terakhir ini. Kakak angkatan memerintahkannya untuk melafalkan pancasila dengan lantang. Dilihat dari mukanya saja sudah mengundang gelak tawa. Ditambah lagi dengan kenyataan dia tidak hapal pancasila selain kata “Pancasila” dan sila pertama. Ya, hanya itu saja yang dihapalnya waktu itu.
Kaliah udah ketawa? Ah, gimana sih. Bayangin coba, mahasiswa baru nggak hapal pancasila, coba? Ini yang salah siapa ini? Masa iya, selama sekolah, biarpun sekolah pedalaman sekalipun, pasti pernah mendengar pancasila dan melafalkannya, bukan?
Parahnya, orang yang tidak hapal itu belakangan diketahui adalah teman satu jurusan saya, untungnya sih nggak satu kelas. Alhamdulillah.
“Ah, gitu doang ceritamu? Hebohnya apa, coba?”
Kan saya sudah bilang, cerita ini tujuannya untuk kita refleksikan, bukan untuk dicari kehebohannya. Lagian iya juga sih, cerita ini tidak menarik memang karena saya nggak biasa nulis beginian dalam keadaan ngakak parah. Tapi kalau untuk tertawa terbahak-bahak, sebenarnya saya juga tidak kuasa menahannya sih. Jadi, mari tertawa berasama saja, hwahahaaa. Sssttt! Pelan-pelan, nanti dia denger, lagi!

Musik itu Selera dan Ekspresi

Musik itu Selera dan Ekspresi
Ini apaan lagi?

Salah seorang kawan saya berceloteh, “Kalo udah ngedengarin lagu malaysiaan itu, rasanya, beuh! Mantep banget dah.”
“Ih, malaysiaan? Gila kamu ya, jaman gini kamu masih suka gituan. Aku sih termasuk orang yang beruntung nggak pernah demen sama musik malaysiaan.”
“Masalah?” lalu selesai dengan tawa yang lepas.
Oke, sebelum kamu teruskan membaca tulisan aneh ini, perkenalkan dulu, bahwa saya bukan orang yang paham soal musik. Sejak kecil saya nggak pernah tahu tentang tangga-tangga nada. Bahkan, bicara dengan datarpun suara saya fals! Ah, becanda kok. Oke, jadi, pastikan dulu bahwa kamu adalah orang yang mengerti musik, ya paling nggak tahulah dikit-dikit, biar kamu bisa ngasi masukan. Kalo kamu sama-sama oonnya soal musik, buat apa saya nulis beginian? Ya, kan?
Bagi sebagian orang, atau gini, bagi sebagian teman saya, musik malaysiaan memang nyaman di telinganya, tapi begitu mengganggu di telinga tetangga. Musik-musik metal gitu, juga cuma sebagian dari teman saya yang suka. Saya sendiri fans berat group band Paramore dan sedikit Greenday. Sebagian yang lain suka lagu islami macam shalawatan, Shaka, nasyid, dan jarang sekali ia ketahuan mendengarkan lagu pop apalagi undergrown. Dangdut? Sudah jelas ada.
“Boyband? K-pop? Girlband? Group Idol?”
Sebagian besar teman-teman saya memang nggak pernah mau mengakui itu sebagai bentuk perkembangan dunia musik. Bagi saya sih nggak bermutu. Ya, nggak termasuk lah. Yasudah, kita nggak bahas yang ini, eh, saya nggak bahas yang ini. Maaf ya, penggemar.
Saban waktu, entah pagi, siang, sore, mau malam sekalipun selalu ada yang muterin beberapa lagu yang seringnya disesuaikan dengan siapa yang muterin. Kadang tetangga sebelahnya juga ikut-ikutan muterin lagu kesukaannya hanya dengan tujuan untuk meredam suara lagu sebelah terdengar di telinga. Mungkin merasa diajak saingan, teman saya yang pertama juga bakal ninggiin suara dari speakernya. Ya, macem bus kejar-kejaran berburu setoran itulah.
Ada fenomena lain. Fenomena? Entah, pemilihan diksi ini bener apa nggak. Ada fenomena lainnya di sekitar lingkungan saya. Ketika seorang temannya bertamu dan disuguhkan dengan lagu favorit tuan rumah, namun justru lagu yang tidak nyaman didengar oleh tuan tamu. Sebagai tamu, tentu saja harus menghormati tuan rumah, bukan? Pun demikian sebaliknya, tuan rumah sudah menjadi kewajibannya untuk melayani tamu. Sayangnya, keduanya kadang kala sama-sama diam tidak mengutarakan apa yang sebaiknya, dalam hal ini lagu, didengarkan bersama. Tuan rumah tidak tahu (atau bahkan tidak mau tahu) apa selera musiknya dan apa yang dihindarinya. Tuan tamu mungkin juga enggan dan pakaewuh (kata bahasa jawa yang ini bener nggak sih? #nanyaserius) untuk minta diputarkan lagu lain yang lebih enak baginya.
Hingga suatu ketika teman saya berujar laiknya seorang penceramah. Tapi kali ini ia patut didengarkan. “Aku nggak pernah melarang siapapun untuk mendengarkan musik apapun. Bahkan untuk nonton bluefilm pun aku nggak pernah mempermasalahkannya. Yang penting saling menghargai satu sama lain aja. Satu tetangga sedang sholat, sakit, atau belajar, ya sudah sebaiknya kita menghargainya, salah satunya yang dengan tidak memutar musik keras-keras, biarpun itu lagu kesukaan dia. Kecuali kalau kita semua memang tengah santai, kumpul-kumpul gitu. Itupun kalo kamu puterin lagu inggris-inggris gitu, misal, ya aku nggak bakal paham. Nggak paham pun juga bakal tak nikmati. Musik itu kan soal selera, apa yang kita sukai. Tapi juga soal ekspresi, emosi yang perlu dikeluarkan, diekspresikan. Ya, gitulah.”
“Ah, yasudah, kita nyanyi rame-rame aja. Bentar, aku ambil gitar dulu.” 

(Di Mimpi,) Teman Saya Mirip Penipu Ulung!

Sedang bermimpi. Lalu tiba pada kisah berikut, seorang anak yang bercerita tentang teman kelasnya:
Kali ini, bicara soal orang lagi. Iyalah, masak ngomongin saya, terlalu banyak perkara tak berujungnya nanti. Jadinya, mungkin memang lebih menarik berkisah tentang pengalaman saya dengan orang-orang sekitar. Ya, kali ini soal aib lagi. Sori ya, Bro. Semoga kamu tenang di sana, entah di mana.
Tapi percayalah, saya menuliskan ini bukan untuk menghujat, menghina, atau apalah istilahnya. Yang jelas, saya hanya ingin berbagi kisah untuk kita ambil hikmahnya. Widiih, kalimat yang ini mirip Pak Ustadz aja yak.
Begini. Meski sebelumnya kami pernah bertemu, tapi di sekian belas pertemuan itu, tak pernah ada pembicaraan di antara kami, bahkan untuk sekedar berkenalan atau bertukar kontak. Ya, hanya sebatas bertemu di ruang perkuliahan, lalu pergi berpisah begitu saja, demikian terjadi berulang.
Dari perkuliahan itu, kesan yang bisa saya simpulkan, yaa, positif semua lah, sukar saya menemukan aib anak ini, selain kenyataan dia agak melambai gitu, semifeminim lah.
"Astagaa!"
Bodoh, kenal aja enggak, #rauruslah.
Sebagaimana mainstreem kebanyakan di kelas kami, mahasiswa yang bertanya di kelas, kalau bukan karena cari perhatian, berarti dia memang paham dan tertarik dengan materi matakuliah. Ya, termasuk teman sekelas saya ini, salah satu dari kemungkinan itu lah pokoknya. Jadinya, lantaran ia kerap bertanya, meskipun sebenarnya bagi saya pertanyaan yang diajukannya lebih banyak tidak berbobot, saya pun menilai kesannya sebagai mahasiswa cerewet yang tengah mencari perhatian. Entah arahnya untuk mahasiswa atau mahasiswi lain, secara ya, dia kan, #ehem, melambai.
Dengan punya cerita, ia mulai menjadi salah satu mahasiswa kebanggaan kampus kami, bahkan jurusan kami. Bahasa Inggrisnya (katanya) keren. Ya, saya percaya sajalah, lhawong (masih katanya juga), udah bisa mondar mandir di beberapa negara.
Oke, saya seruput kopi dulu ya.
Suatu ketika, selepas matakuliah ini menjelang akhir, cerita besar pun sampai di telinga saya.
“Ah, lagi-lagi mirip gosip.”
Yelah, ini kan cerita saya, Man. Duduk, dan dengarkan saja. Baca, ding.
Jadi ceritanya begini. Manusia berpendidikan yang seharusnya semakin berilmu semakin menunduk, ia malah sebaliknya. Di tahap seminar proposal skripsi, anak ini ketahuan melakukan plagiasi (berat) dalam penyusunannya. Ya, intinya begitulah. Saya agak lupa kasus yang ini. Alhasil ia diberhentikan secara tidak terhormat sebagai mahasiswa dari kampus kami.
“Maksudmu?”
Kena DO, T*olol! Drop Out
Oke, kasus itu mungkin sudah terjadi sekitar dua atau, ya sekitar dua tahun kemaren lah. Nah, puncaknya adalah petang tadi, ketika teman akrab saya bertutur tentang kabarnya yang mengecewakan.
“Anak itu, kan pindah kampus.”
Lho, bukan DO to?
“Entah, anak-anak pada bingung. Kok ya bisa di DO, tapi masuk kampus lain dengan status transfer gitu. Inget tentang penelitiannya yang plagiasi itu kan? Nyatanya penelitian itu dia lanjutin, ironisnya penelitiannya dinobatkan sebagai juara di sebuah kompetisi international. Gila apa!”
Oh, bagaimana mungkin dia bisa menang kompetisi international lewat penelitian yang pernah dianggap sebagai pelanggaran berat hingga harus dikeluarin dari kampus. Ini orang kampus saya yang salah menilai penelitiannya, juri kontes penelitian international yang gagal menjadi juri, atau teman saya itu yang mulai pandai menipu? Ah, saya tak mau lagi mereka-reka mana yang salah mana yang tidak.

Udah ya, saya mau bangun tidur. Kacau kalau cerita ini dilanjutin. Dah, mari jujur.

#CatatanPerjalanan #Modus

Sebelumnya, maaf, jika lantaran tulisan ini ada pihak yang merasa dirugikan, disalahkan, dihina, dan seterusnya. Karena dengan sejujurnya, niat saya bukanlah demikian. Jadi mari kita mulai saja.
Terlepas dari status saya sebagai lulusan S1 Psikologi, mungkin cukup mudah mengetahui kepribadian seseorang hanya lewat beberapa kali pertemuan, bahkan bagi orang awam sekalipun atau sarjana dari bidang akademik berbeda. Maka mudah rasanya menilai secara personil bahwa seseorang ini bukan merupakan salah satu dari yang kebanyakan pria incar. Oke, kita tak perlu berkenalan dengannya.
Bagaimana tidak, kesan pertama (sebenarnya kedua, sih) yang akan begitu kuat diingatan, seakan ia sia-siakan begitu saja. Bukannya mengajak untuk berperilaku pragmatis, menjaga dan menunjukkan kesan positif di pertemuan awal adalah hal penting dalam hidup ini, begitu kata dosen-dosen psikologi saya. Akan tetapi, mudahnya, bagaimana mungkin kita menemukan relasi yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan dengan mudah dan lancar, bila salam pembuka kita saja nihil nilainya?
Saya jadi teringat dengan tulisan pak Edi, pimpinan Diva Press, bahwa ia selalu mengutarakan pendapatnya bahwa ia sangat benci dengan pendahulusan sebuah tulisan yang tidak enak dibaca (dalam hal ini ada dua hal, silahkan cari sendiri).
Kembali ke laptop! Mari bayangkan, bagaimana mengecewakannya, seorang anak kecil, tebakan saya 17-19 tahunan sih, memberikan reaksi spontannya dengan kata-kata yang kurang enak didengar, “Mulutmu!” tentu dengan penekanan yang orang akan memahaminya sebagai makian atau cercaan.
Ironis, bukan? Tapi nasi kadung menjadi bubur. Di pertemuan pertama, sebenarnya, saya sangat tertarik dengan anak ini, (widiih, kayak orang tua aja). Di pertemuan pertama kami tak banyak interaksi, karena tengah ikut serta dalam sebuah pelatihan. Kami hanya bertukar kontak, informasi pribadi yang penting-penting saja, kuliah di mana, smester berapa, asalnya dari mana, tinggal dimana, dan pertanyaan-pertanyaan lumrah lainnya untuk perkenalan semata.
Dari pertemuan pertama itu, kesan yang ditampilkan menunjukkan bahwa ia anak yang suka jalan-jalan, ya semacam petualangan gitu lah, berani dengan tantangan, tertarik dengan dunia tulis menulis, dan kebetulan ia sedang kuliah di jurusan yang tidak pernah saya kuasai dengan baik sewaktu SMP-SMA: berbau fisika, kimia, atau apalah yang berdekatan dengan matematika lanjutan.
“Ah, anak ini menarik juga, mungkin di pertemuan-pertemuan selanjutnya, ia bisa menghilangkan kebodohan saya soal bidang-bidang akademik di atas.” Batin saya di pertemuan pertama itu.
Selepas itu, nyaris kami tidak saling kontak, mungkin ini akan menjadi maklum bagi pembaca yang sudah pernah merasakan menderitanya mengerjakan skripsi, terutama mereka yang tidak fasih dengan hitungan-hitungan tapi memberanikan diri mengambil metodologi kuantitatif. Alhasil, satu ketika kami sepakat untuk saling bertemu, di suatu waktu, di suatu tempat yang menurut saya, bagai kami adalah tempat yang sama-sama kami cintai. Yah, di situlah pokoknya.
Di pertemuan kedua inilah, kekecewaan saya terjadi. Sekali lagi, mari kita bayangkan, anak kecil, pertemuan kedua setelah pertemuan pertama yang basa-basi, dan kata-kata yang tidak enak didengar. Oya, satu lagi, jangan bayangkan ia adalah anak laki-laki.
Sepulang dari pertemuan kedua inilah ketertarikan saya terhadap anak ini sedikit runtuh. Kalau boleh lebay, mimpi panjang yang saya bangun untuk dekat dengan bidang-bidang akademik di atas mulai sirna. Bahkan, peluang untuk menemukan jodoh dalam dirinya pun pudar, *yang ini juga serius.
Demikian, kesan yang dibangun sekali lagi membuktikan akan pentingnya, melebihi kepentingannya. Maka tidak heran jika pelamar-pelamar pekerjaan disarankan untuk memberikan kesan yang nyaman saat tahap wawancara. Ya, sebelas duabelas lah dengan tahap yang saya lalui di atas juga.
“Ah, mungkin karena ia masih kanak-kanak, Bed.”
Ih, apaan, 17-19 tahun bukan lagi masa kanak-kanak. Kata Psikologi, usia itu adalah masa panas-panasnya manusia dalam tahapan perkembangannya.
“Nah, apalagi kamu bilang gitu, panas. Ya, maklum lah.”
Tunggu dulu, justru di sinilah letaknya, sejauh mana mereka menahan panasnya.
“Lalu apa tujuannya menulis ini?”
Entahlah, saya hanya tidak bisa tidur malam ini mengingat kejadian tempo hari itu. Mudah-mudahan saya tidak salah sangka. Mudah-mudahan tidak lagi kita temukan kesan negatif di pertemuan ketiga dan seterusnya (jika ada takdir). Mudah-mudahan tidak ada yang dirugikan. Mudah-mudahan semuanya dalam lindungan Tuhan. Tusbihina ‘ala khoir.

50 Ribu Menggila

Pagi sekali, pesan singkat masuk di HP saya. Isinya soal Ila, adik ipar, yang baru saja nyampe di Jogja. Kedatangannya boleh dibilang setengah kejutan setengah engak sih. Seminggu kemaren dia udah pernah berkabar bakal dateng ke Jogja, tapi siapa sangka kalo minggu subuh ini saya harus menjemputnya di stasiun? Tak apalah, namanya juga saudara, cewek lagi.
Singkat cerita, 15 menit bergegas, kita udah nyampe di kost. Maklum lah, secara, Fino FI. Baru, lagi. Tapi pinjem. #kasianBangetSih Rupanya sifat penasarannya masih melekat. Belum apa-apa, dia udah minta cepat-cepat dianterin kesana kemari. Padahal, minggu kan waktu yang pas buat bermalas-malasan di kost. Well, mari kita jalan-jalan aja.
Pukul 9-an lah, kita berangkat tanpa tahu enaknya kemana dulu. Ok, ATM dulu. Parahnya, saya lupa di ATM hanya menyisakan 80 ribu, praktis, cuma 50 ribu bisa saya gunakan. Pikiran saya mulai banyak bermunculan mimpi-mimpi buruk. Secara, saya kan cowok. Masa iya adik cewek samping Fino FI itu yang kudu bayarin ini itu? Alhasil, kita asal jalan aja.
Tujuan pertama adalah, Taman Sari di samping alun-alun utara. Taman yang tidak hanya dikenal karena nilai artistiknya belaka, namun juga nilai historis dan keunikan coraknya yang jauh dari nuasa jawa. Sumpah, lokasi ini gokil abis, bener-bener gila. Gimana nggak bikin puas coba, cuma dengan tiket masuk 5 ribu, kita udah bisa nyegerin mata. Di sepanjang bangunan, dipenuhi dengan tumbuhan dan bunga-bunga. Apalagi di pagi begini, masih lumayan sepi. Puas dengan fota-foto sana-sini, jalan-jalan dadakan ini dilanjutkan. 

Taman Sari

Jam 11 siang, saatnya isi perut. Ada tempat makan yang mulai menjadi favorit saya belakangan ini. Kupat tahu Pak Budi di tenggara kantor Wali Kota. Hanya dengan 7 ribu, kupat tahu legendaris Jogja itu bisa kita nikmati. Kenyang, kita pulang dulu, shalat dzuhur, istirahat, sambil mikir kegiatan selanjutnya ngapain.
Pukul 13.00 kita lanjut ke daerah utara Jogja, entah apa namanya, yang jelas biasa dipake untuk pemandian umum. Lets go, kita meluncur ke sana tapi dengan rute yang berbeda. Karena saya tidak mau berpanas-panas nggak ria di jalan yang penuh dengan kendaraan. Rute ini adalah jalan perkampungan, jadi biarpun siang bolong, tapi enggak sepanas jalan sebelah. 25 menit perjalan, kita sudah sampai.
Pemandian ini berbeda dengan pemandian lainnya. Air yang ada di kolam berasal dari sumber langsung yang keluar dari bawah kolam. Bisa dibayangin kan segernya itu air? Nggak usah mikir lama-lama, langsung nyebuuur. Dengan pijakan berupa pasir dan beberapa batu besar, kenikmatannya tidak bisa dibandingin sama kolam renang biasa. Ya mungkin setara lah sama kalo kita mandi pake air galon gitu lah. Secara kan, airnya update terus. Beberapa ikan kecil juga sengaja dibiarkan hidup. Puas satu jam berenang, jalan-jalan dadakan kita lanjutkan. Eits, tapi bayar parkir dulu, cuma 1 ribu doang. Murang banget kan, renang sepuasnya cuma 1 ribu, itupun juga kalo ada abang-abang tukang parkirnya. Kalo pun ada, kadang juga nggak diminta. Jozz lah!

Pemandian Umum Maguwo

Tujuan selanjutnya adalah Pantai Parangtritis di ujung selatan provinsi. Membutuhkan 1 jam lebih perjalanan untuk sampai ke TKP. Karena, lagi-lagi rute berbeda kita ambil. Kali ini jalan Imogiri Timur-Pangang-Parangkusumo kita gunakan sebagai rute keberangakatan. Tapi, bukan jalan utamanya. Karena kita lebih memilih melewati jalan perkampungan yang biasa saya lewati. Yang ini tidak saya anjurkan buat kalian yang tidak kenal rutenya! Di sepanjang jalan ini, kita bisa sekalian menikmati indahnya panorama Kota Jogja di siang hari. Ya mirip-mirip lah sama Bukit Bintang di Jogja atau Caringin Tilu di Bandung. Soundtrack Ninja Hatori mungkin cocok untuk menggambarkan rute ini.
Perjalanan dari arah timur sebenarnya bagus juga. Pemandangan pantai di sepanjang jalan setelah Parangkusumo hingga Parangtritis menambah kenikmatan perjalanan ini. Untuk bisa masuk ke Pantai Parangtritis, 5 ribu adalah nilai yang harus dikeluarkan untuk tiap orang dan 2 ribu untuk parkit motor. Gila banget kan murahnya.
Menikmati pantai yang konon mistis ini, sambil menunggu sunset tiba, sungguh luar biasa rasanya. Dengan arus ombak yang lumayan tenang di sore hari, desiran pantainya, yang kata adik ipar saya, bernada, ditambah dengan kondisi pantai yang begitu bersih, tak pernah memudarkan kekaguman saya pada pantai ini. Puas bermain air dan bersunset di Parangtritis, saatnya pulang. Karena nanti kita akan ke 0 km kota Jogja.

Pantai Parangtritis



Pukul 19.00, kopi joss time! Lokasinya persis di utara stasiun Tugu. Kopi joss yang cuma 3 ribu ini adalah kopi biasa yang dicampur dengan arang menyala. Wuiih, bayangin coba. Kopi joss ini memiliki kadar kafein yang rendah lantaran keberadaan arangnya itu yang menjadi karbon aktif, beruna untuk mengikat polutan dan racun. Jozz banget kaaan? Di sini sekalin makan malam. Nasi kucing hanya 2 ribu per porsi. Kenyang banget. Tambah jozz lagi kan?

Kopi Joss Dengan Arang Membara

Jalan-jalan di lanjutkan ke Alun-alun Selatan atau lebih dikenal dengan Alun-alun Kidul atau orang menyingkatnya dengan alkid. Di sini berdiri dua pohon beringin kembar yang begitu besar. Mitosnya, kalau kita bisa berjalan lurus dengan mata tertutup untuk melewati pohon itu, maka rezeki akan lancar. Kalian percaya? Yang pasti adik ipar saya itu bisa melewatinya.

Legenda Pohon Beringin Kembar Alkid

Selesai Alun-alun Kidul, saatnya jalan-jalan menghabiskan minggu malam di jantung kota. Di sana sudah ada beberapa teman yang menunggu. Seperti biasa, kita menyelesaikan kegiatan weekend di sini, di depan Monumen Serangan Umum Sau Maret, di bawah kaki raksasa berwarna merah dengan tinggi 5 m.

Patung Kaki

Jalan-jalan kesana kemari kenapa nggak pake ngisi bensin? Mungkin itu pertanyaan kalian, wajarlah. Tapi jangan salah, kan udah tak ceritain di depan, mengandalkan Fino FI teman yang nganggur itu kita bisa jalan-jalan sepuasnya, karena iritnya yang luar biasa. Perjalanan kita ini buktinya. Lebih dari itu, kalian mungkin nggak percaya pas liat isi dompet yang masih menyisakan beberapa lembar ribuan. Jogja+Fino FI memang istimewa!

Tips penting untuk bisa jalan-jalan di Jogja dengan dana terbatas:
  1. Bawa air mineral sendiri dari rumah
  2. Berwisata di jam yang tepat, karena banyak lokasi yang di jam segini murah di jam lagi lebih mahal
  3. Gunakan rute yang nyaman, santai, dan tentu saja, yang aman.
  4. Kalau duit menipis, di Jogja banyak tempat gokil yang cuma berbayar untuk parkir saja, itupun kalo ada abang-abang tukang parkirnya
Tulisan ini ditujukan untuk mengikuti kontes yang diadakan oleh kemanapunasyik.com. Sebaiknya kalian juga nonton video ini. Mungkin aja bisa menginspirasi. Have fun!


RIP Yut Jalal

Kamis, saat aku nerima kabar kalo buyut (kakek) Jalal sudah almarhum, ada rasa bersalah menusuk-nusuk. Di ambang hidupnya, yang seharusnya kami mengantar, kesibukan telah memperdayai. #ahLebay
Jadi ceritanya, kakekku itu sakit keras sejak bulan puasa. Kebetulan aku kan pulang tuh tiap lebaran, jadinya ya nyempatin lah nengok-njenguk gitu. Rumahnya juga nggak terlalu jauh juga kok dari rumahku. Ya 20-an kilometer lah. Tapi untuk orang 21 tahun seukuran aku yang nggak pernah mengenal jalanan kota Jember, nyasar mungkin jadi jawaban

Jogjaku Nyaman

Tugu Jogja
Kamu mungkin udah pada tahu kali ya, kenapa kota jadi tempat favorit untuk ditempati. Itu dia, semua yang dibutuhkan selalu ada! Selama punya banyak duit dan kenalan, kamu gak bakalan pernah mati, Bro. Pendidikan? Ada. Hiburan? Bauanyak banget. Spiritual? Banyak juga. Yang begituan? Apalagi, Bro.
Ya, kota emang menyenangkan. Jalan-jalan udah muluuus. Sinyal kuat. Tata ruangnya dijaga rapi, kecuali daerah marginal. Sebut aja Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar, Bandung, Jogja. Sayangnya, ada banyak juga hal memilukan ada di kota (sebagian malah memalukan). Pulusinya itu lho, Bro. Macet. Banjir. Sosialnya kurang. Bandingin coba sama di desa. Weehhh, dijamin kamu gak bakalan pernah mau balik ke kota. Apalagi kalo kamu ketemu sama kembang desa. Beehh. #JanganDidengerin
Tapi untuk kota terakhir masih punya poin lebih yang enggak dimiliki kota lain: nyaman. Ya. Kota Jogja baru-baru ini menerima penghargaan (kali ya) sebagai kota ternyaman se Indonesia. Entahlah nyamannya itu gimana, saya nggak (mau) ngeri, ya kamu gugling aja deh kalo penasaran.
Menurut saya sih Jogja emang beda jauh sama tempat-tempat yang udah pernah saya tinggalin. Enggak sekedar saya kunjungin lho. Jogja tuh, tenang, damai, alamnya indah, luar biasa deh.
Mau bukti? Coba gih kamu itung berapa jumlah perguruan tinggi yang ada di Jogja. Belum termasuk sekolah, lembaga pendidikan lain. Itu satu. Trus kamu itung berapa banyak komunitas-komunitas di Jogja. Saya yakin kamu bakal keteteran ngitungnya. Mulai dari seni, otomotif, hobi, olahraga, hewan peliharaan, traveling, cyber, pecinta lingkungan, trus apalagi, banyak deh. Kamu itung berapa banyak tempat hiburan di jogja, gunungnya, museumnya, situs peninggalannya, pantainya. Kamu itungin aja berapa kadar polusi di Jogja ini. Kamu bandingan dah ama kota lain. Dan yang paling buanget menurut saya, orang-orangnya, Brooo. Gila, ramah abis dah.
Saya pernah ya. Pas pertama kali nyampa Jogja saya nyasar, nggak kenal siapa-siapa. Kamu bayangin deh, Bro. Tahu kan apa yang bakal dilakuin orang yang tersesat? Iya, Tanya sana-sini. Nah, di tengah kenyasaran saya, saya mampir di angkringan pinggir jalan. Tahu angkringan gak kamu? Bagus deh. Di situ saya dikasi tahu banyak hal soal Jogja. Bahkan, saya ditraktir makan di situ. Udah gitu, cara ngomongnya enak ditelinga, biarpun waktu itu saya nggak paham betul bahasa jawa. Gila abis tuh orang. Sumpah, kalo ketemu lagi pengen saya peluk, saya cium (tangannya), ngobrol sana-sini lagi, sama ngasi ucapan terimakasih atau apa lah gitu sebagai apalah juga gitu.

Tapi, di manapun kamu menginjakkan kaki, enggak selamanya kaki kamu ngerasa nyaman. Ada kalanya kamu kesemutan, digigit nyamuk, digertak orang, kecapean. Ya gitu juga ama kota ini. Bias lah kamu kira-kira persiapan yang kudu kamu bawa sebelum masuk Jogja. Iyo ra, Dab?